PENYELESAIAN
SENGKETA KONSTRUKSI
I.
PENDAHULUAN
Pesatnya pembangunan di segala
bidang di Indonesia termasuk didalamnya pembangunan di bidang infrastruktur
dalam beberapa dekade terakhir telah mendorong peningkatan arus investasi baik
yang berasal dari pihak swasta dalam negeri maupun dari luar negeri. Investasi
dalam bidang infrastruktur telah melibatkan banyak pihak dengan beragam skema
kerjasama, seperti: antara pemerintah RI dengan Pemerintah negara lain atau
dengan Swasta Nasional atau Swasta Asing; antara sesama swasta nasional atau
dengan pihak asing.
Kerjasama investasi antara para
pihak dalam bidang infrastruktur tersebut diikat melalui beragam bentuk
kesepakatan/perjanjian/kontrak kerjasama. Tentu saja setiap
kesepakatan/perjanjian/kontrak kerjasama dimaksud diharapkan dapat berjalan
dengan lancar dan tanpa adanya hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Para
pihak yang terikat perjanjian berupaya melaksanakan sebaik mungkin
klausul-klausul yang disepakati dalam kesepakatan/perjanjian/kontrak kerjasama
dimaksud.
Namun dalam pelaksanaan kesepakatan/perjanjian/kontrak
kerjasama seringkali ditemukan banyak kendala/hambatan yang pada akhirnya dapat
menimbulkan perselisihan atau ketidaksepahaman antara para pihak yang telah
melakukan kesepakatan tersebut yang ujung-ujungnya menjadi sebuah sengketa (dispute).
Pada tujuan itulah tulisan ini
dibuat sebagai sedikit sumbangan pemikiran dan berbagi pengetahuan terkait
penyelesaian sengketa konstruksi dalam bidang investasi infrastruktur
(khususnya di Indonesia) dengan batasan pengertian Infrastruktur (Grigg, 1988)
dimaksud dalam tulisan ini adalah suatu sistem fisik yang menyediakan
transportasi, drainase, bangunan gedung dan fasilitas publik lainnya,
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia baik kebutuhan sosial maupun
ekonomi. Adapun enam kategori besar infrastruktur (Grigg, 1988), meliputi:
- Kelompok
jalan (jalan, jalan raya, jembatan);
- Kelompok
pelayanan transportasi (transit, jalan rel, pelabuhan, bandar udara);
- Kelompok
air (air bersih, air kotor, semua sistem air, termasuk jalan air);
- Kelompok
manajemen limbah (sistem manajemen limbah padat);
- Kelompok
bangunan dan fasilitas olahraga luar;
- Kelompok
produksi dan distribusi energi (listrik dan gas);
II.
LANDASAN HUKUM
Adapun beberapa landasan hukum yang
dapat menjadi dasar atau rujukan dalam penyelesaian sengketa konstruksi di
bidang investasi infrastruktur di Indonesia, meliputi :
1.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi beserta Penjelasannya;
2.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
3.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29
Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3956) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010;
4.
Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Ke-4 Atas Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 54 tahun 200 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
5.
Peraturan Menteri PU Nomor
07/PRT/M/2014 Tentang Perubahan Kedua Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
07/PRT/M/2011 Tentang Standar Dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Dan
Jasa Konsultansi;
6.
Peraturan Lembaga LPJK Nomor 04
tahun 2014 tentang Penilai Ahli;
7.
Lain-lain (seperti FIDIC dll)
III. PEMILIHAN
CARA PENYELESAIAN SENGKETA KONSTRUKSI
3.1 Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi beserta Penjelasannya
Bab IV :
Pengikatan Pekerjaan Konstruksi
Bagian
Ketiga: Kontrak Kerja Konstruksi
Pasal 22
ayat (2) h:
Kontrak
kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai penyelesaian
perselisihan, yang memuat tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat
ketidaksepakatan.
-
Penjelasan Pasal 22 (2) h:
Penyelesaian
perselisihan memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan yang
diakibatkan oleh ketidaksepakatan dalam hal pengertian, penafsiran, atau
pelaksanaan berbagai ketentuan dalam kontrak kerja konstruksi serta ketentuan
tentang tempat dan cara penyelesaian.
Penyelesaian
perselisihan ditempuh melalui antara lain musyawarah, mediasi, arbitrase,
ataupun pengadilan.
Pasal 33
ayat (2):
Tugas
lembaga yang menyelenggarakan peran masyarakat jasa konstruksi dalam
melaksanakan pengembangan jasa konstruksi adalah:
(e)
mendorong dan meningkatkan peran arbitrase, mediasi dan penilai ahli dibidang
jasa konstruksi.
Pasal 25
ayat (3):
Kegagalan
bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh pihak ketiga
selaku penilai ahli.
-
Penjelasan Pasal 25 (3):
Penetapan
kegagalan hasil pekerjaan konstruksi oleh pihak ketiga sebagai penilai ahli
dimaksudkan untuk menjaga objektivitas dalam penilaian dan penetapan suatu
kegagalan hasil pekerjaan konstruksi.
Penilai ahli
terdiri dari orang perseorangan, atau kelompok orang, atau lembaga yang
disepakati para pihak, yang bersifat independen dan mampu
memberikan penilaian secara objektif dan profesional.
Pasal 36 :
(1) Penyelesaian
sengketa jasa konstruksi dapat ditempuh melalui pengadilan atau di
luarpengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang
bersengketa.
(2) Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlakuterhadap
tindak pidana dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana diatur
dalamKitab Undang-Undang Hukum Pidana.
(3) Jika dipilih upaya penyelesaian
sengketa di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau parapihak
yang bersengketa.
Pasal 37 :
(1) Penyelesaian sengketa jasa
konstruksi di luar pengadilan dapat ditempuh untuk
masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi, serta dalam hal terjadi kegagalan bangunan.
(2) Penyelesaian sengketa jasa
konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan jasa
pihak ketiga, yang disepakati oleh para pihak.
(3) Pihak ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibentuk oleh Pemerintah dan/atau
masyarakat jasa konstruksi.
3.2. Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Pasal 1 ayat
(1)
Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.
Pasal 1 ayat
(10)
Alternatif
Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian
ahli.
Pasal 34
ayat (1) :
Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga
arbitrase nasional atauinternasional berdasarkan kesepakatan para
pihak.
3.3. Menurut
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3956) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010
BAB VI :
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 49
(1) Penyelesaian
sengketa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi di luar pengadilan dapat
dilakukan dengan cara :
a. melalui
pihak ketiga yaitu :
1.
mediasi (yang
ditunjuk oleh para pihak atau oleh Lembaga Arbitrase dan Lembaga
AlternatifPenyelesaian Sengketa);
2.
konsiliasi; atau
b. arbitrase
melalui Lembaga Arbitrase atau Arbitrase AdHoc.
(2) Penyelesaian sengketa secara mediasi
atau konsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf dapat dibantu
penilai ahli untuk memberikan pertimbangan profesional aspek tertentu
sesuaikebutuhan.
3.4. Menurut Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Ke-4 Atas Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah;
Paragraf
Ketujuh : Penyelesaian Perselisihan
Pasal 94
(2) Dalam hal
terjadi perselisihan antara para pihak dalam Penyediaan Barang/Jasa Pemerintah,
para pihak terlebih dahulu menyelesaikan perselisihan tersebut melalui musyawarah
untuk mufakat.
(3) Dalam hal
penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai,
penyelesaian perselisihan tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase,
alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
3.5. Menurut
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 07/PRT/M/2011 Tentang Standar Dan
Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Dan Jasa Konsultansi, terakhir diubah
dengan Peraturan Menteri PU Nomor 07/PRT/M/2014 (Perubahan Kedua).
1. Penyelesaian Perselisihan
Para Pihak
berkewajiban untuk berupaya sungguh-sungguh menyelesaikan secara damai semua perselisihan yang
timbul dari atau berhubungan dengan Kontrak ini atau interpretasinya selama atau setelah pelaksanaan
pekerjaan ini.
Penyelesaian perselisihan atau
sengketa antara para pihak dalam Kontrak dapat dilakukan melalui musyawarah, arbitrase, mediasi, konsiliasi
atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyelesaian perselisihan atau sengketa yang
dipilih ditetapkan dalam SSKK.(pen. SSKK = Syarat-Syarat Khusus
Kontrak)
3.6. Menurut
Peraturan Lembaga LPJK Nomor 04 tahun 2014 tentang Penilai Ahli
Pasal 1 (5)
Penilai Ahli
adalah seseorang yang mempunyai kompetensi penilaian ahli di bidang jasa
konstruksi.
Pasal 4 :
(1) Penilai
Ahli berperan dalam kegiatan penilaian ahli atas kejadian Kegagalan
Bangunan,Kegagalan Pekerjaan Konstruksi, beda pendapat antar para pihak dalam
pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi, penyelesaian sengketa konstruksi
dan proses peradilan.
(2) Penilaian
ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh 1 (satu) atau
lebih Penilai Ahli.
Pasal 5 : Tugas Penilai Ahli
(1) Tugas Penilai Ahli dalam hal kejadian Kegagalan Bangunan adalah
a.
memberikan
penilaian dan penetapan:
b.
sebab-sebab
terjadinya Kegagalan Bangunan;
c.
bagian-bagian
yang tidak lagi berfungsi akibat Kegagalan Bangunan;
d.
pihak
yang bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan yang terjadi, serta tingkat dan
sifat kesalahan yang dilakukan;
e.
besarnya
kerugian, serta usulan besarnya ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak atau
pihak-pihak yang melakukan kesalahan; dan
f.
jangka
waktu pembayaran kerugian.
(2) Tugas Penilai Ahli dalam hal kejadian Kegagalan Pekerjaan Konstruksi
adalah memberikan penilaian dan rekomendasi:
a.
sebab-sebab
terjadinya Kegagalan Pekerjaan Konstruksi;
b.
bagian-bagian
yang tidak lagi berfungsi akibat Kegagalan Pekerjaan Konstruksi;
c.
pihak
yang bertanggung jawab atas Kegagalan Pekerjaan Konstruksi yang terjadi, serta
tingkat dan sifat kesalahan yang dilakukan; dan
d.
besarnya
kerugian, serta usulan cara perbaikan kegagalan pekerjaan konstruksi
(3) Tugas
Penilai Ahli dalam hal kejadian beda pendapat antar para pihak, adalah:
a.
memberikan
interpretasi kontraktual secara berkeahlian atas dokumen Kontrak Kerja
Konstruksi;
b.
memberikan
pendapat dan/atau telaahan atas permasalahan beda pendapat untuk tercapainya
kesepakatan;
c.
memberikan
usulan penyelesaian untuk tercapainya kesepakatan; dan/atau
d.
merumuskan
hasil kesepakatan para pihak.
(4) Tugas
Penilai Ahli dalam hal kejadian penyelesaian sengketa konstruksi adalah sebagai
Mediator atau Konsiliator.
(5) Tugas
Penilai Ahli sebagai Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
a.
memfasilitasi
para pihak dalam rangka penyelesaian sengketa;
b.
menengahi
setiap perbedaan pendapat dalam berargumentasi;
c.
memberikan
interpretasi kontraktual secara berkeahlian atas dokumen Kontrak Kerja
Konstruksi; dan
d.
memberikan
pendapat dan/atau telaahan atas permasalahan penyelesaian sengketa untuk
tercapainya kesepakatan;
(6) Tugas
Penilai Ahli sebagai Konsiliator sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
a.
memfasilitasi
para pihak dalam rangka penyelesaian sengketa;
b.
menengahi
setiap perbedaan pendapat dalam berargumentasi;
c.
memberikan
interpretasi kontraktual secara berkeahlian atas dokumen Kontrak Kerja
Konstruksi;
d.
memberikan
pendapat dan/atau telaahan atas permasalahan penyelesaian sengketa untuk
tercapainya kesepakatan;
e.
memberikan
usulan penyelesaian untuk tercapainya kesepakatan; dan
f.
merumuskan
hasil kesepakatan para pihak.
(7) Tugas Penilai Ahli dalam proses arbitrase dan proses
peradilan adalah memberikan keterangan ahli selaku saksi ahli.
3.7. Menurut
Peraturan lainnya (seperti FIDIC dll)
FIDIC
(FIDIC,
Federation International des Ingenieurs-Conseils atau International Federation
of Consulting Engineers. yang berkedudukan di Lausanne, Swiss, dan didirikan dalam tahun 1913 oleh
negara-negara Perancis, Belgia dan Swiss. Dalam perkembangannya, FIDIC
merupakan perkumpulan dari assosiasi-assosiasi nasional para konsultan
(Consulting engineers) seluruh dunia. Didukung oleh
ilmu pengetahuan dan pengalaman professional yang sedemikian luas dari
anggota-anggotanya, FIDIC telah menerbitkan berbagai bentuk standar dari
dokumen dan persyaratan kontrak, conditions of contract, untuk proyek-proyek
pekerjaan sipil (civil engineering construction) sejak 1957 yang secara terus
menerus direvisi dan diperbaiki sesuai perkembangan industri konstruksi
Berdasarkan
Persyaratan Kontrak untuk Pelaksanaan Konstruksi, Multilateral Development Bank
(MDB) Harmonised Edition Maret-2006, pada Klausul No.20 : KLAIM, SENGKETA DAN
ARBITRASE diatur bahwa bilamana terjadi sengketa konstruksi maka
penyelesaiannya melibatkan Sebuah Dewan Sengketa yang anggotanya (berjumlah
ganjil) ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa.
Dewan
Sengketa dalam menyelesaikan sebuah sengketa akan mengupayakan cara-cara damai atau musyawarah. Namun
bila cara damai/musyawarah tidak tercapai, maka dapat ditempuh penyelesaian
melalui forum Arbitrase. Dapat
dipilih arbitrase nasional atau arbitrase internasional.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa konstruksi di
bidang investasi infrastruktur yang terjadi antara para pihak yang melakukan
kesepakatan/perjanjian/kontrak kerjasama dapat diselesaikan melalui dua pilihan
jalur penyelesaian yaitu melalui jalur pengadilan atau jalur non pengadilan.
Untuk penyelesaian melalui jalur pengadilan diselenggarakan dengan mengikuti
tata cara peradilan pada umumnya, sedangkan penyelesaian melalui jalur non pengadilan
mencakup penyelesaian melalui cara musyawarah, konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, arbitraseatau melibatkan penilaian ahli. Dalam halmenggunakan cara
melalui arbitrase dapat dipilih lembaga arbitrase nasional atau internasional
berdasarkan kesepakatan para pihak.
Sumber:
http://brisbenrasyid.blogspot.co.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar