Sabtu, 06 Januari 2018

Penyelenggara Jasa Konstruksi

UNSUR PENYELENGGARA


PENDAHULUAN
Usaha-usaha untuk mewujudkan sebuah bangunan diawali dari tahap ide hingga tahap pelaksanaan. Pihak-pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi dari fase perencanaan sampai dengan pelaksanaan dapat dikelompokkan menjadi tiga pihak, yaitu: pihak pemilik proyek/owner/prinsipal/employer/client/bouwheer; pihak perencana/designer dan pihak kontraktor/aannemer.
Orang/badan yang membiayai, merencanakan, dan melaksanakan bangunan tersebut disebut unsure-unsur pelaksana pembangunan. Masing-masing unsur tersebut mempunyai tugas, kewajiban, tanggungjawab, dan wewenang sesuai dengan posisinya masing-masing. Dalam melaksanakan kegiatan perwujudan bangunan, masing-masing pihak (sesuai dengan posisinya) saling berinteraksi satu sama lain sesuai dengan hubungan kerja yang telah ditetapkan.
Koordinasi dari berbagai pihak yang terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan proyek konstruksi merupakan kunci utama untuk meraih kesuksesan sesuai dengan tujuannya.
Pemilik proyek atau pemberi tugas atau pengguna jasa adalah orang/badan yang memiliki proyek dan memberikan pekerjaan atau menyuruh memberikan pekerjaan kepada pihak penyedia jasa dan yang membayar biaya pekerjaan tersebut. Pengguna jasa dapat berupa perseorangan, badan/lembaga/instansi pemerintah maupun swasta.
Hak dan kewajiban pengguna jasa adalah:
a.     Menunjuk prenyedia jasa (konsultan dan kontraktor).
b.     Meminta laporan secara periodic mengenai pelaksanaan pekerjaan yang telah dilakukan oleh penyedia jasa.
c.      Memberikan fasilitas baik berupa sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh pihak penyedia jasa untuk kelancaran pekerjaan.
d.     Menyediakan lahan untuk tempat pelaksanaan pekerjaan.
e.     Menyediakan dana dan kemudian membayar kepada pihak penyedia jasa sejumlah biaya yang diperlukan untuk mewujudkan sebuah bangunan.
f.       Ikut mengawasi jalannya pelaksanaan pekerjaan yang direncanakan dengan cara menempatkan waktu atau menunjuk suatu badan atau orang untuk bertindak atas nama pemilik.
g.     Mengesahkan perubahan dalam pekerjaan (bila terjadi).
h.     Menerima dan mengesahkan pekerjaan yang telah selesai dilaksanakan oleh penyedia jasa jika produknya telah sesuai dengan apa yang dikehendaki.

Wewenang pemberi tugas adalah:
1.        Memberitahukan hasil lelang secara tertulis kepada masing-masing kontraktor.
2.        Dapat mengambil alih pekerjaan secara sepihak dengan cara memberitahukan secara tertulis kepada kontraktor jika telah terjadi hal-hal di luar kontrak yang ditetapkan.

KONSULTAN
Pihak/badan yang disebut sebagai konsultan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: konsultan perencana dan konsultan pengawas. Konsultan perencana dapat dipisahkan menjadi beberapa jenis berdasarkan spesialisasinya, yaitu: konsultan yang menangani bidang arsitektur, bidang sipil, bidang mekanikal dan elekrikal, dan alin sebagainya. Berbagai jenis bidang tersebut umumnya menjadi satu kesatuan yang disebut sebagai konsultan perencana. Konsultan Perencana
Konsultan perencana adalah orang/badan yang membuat perencanaan bangunan secara lengkap baik bidang arsitektur, sipil, maupun bidang lain yang melekat erat dan membentuk sebuah sistem bangunan. Konsultan perencana dapat berupa perseorangan/perseorangan berbadan hukum/badan hukum yang bergerak dalam bidang perencanaan pekerjaan bangunan. Hak dan kewajiban konsultan perencana adalah:
a.     Membuat perencanaan secara lengkap yang terdiri dari gambar rencana, rencana kerja, dan syarat-syarat, hitungan struktur, rencana anggaran biaya.
b.     Memberikan usulan serta pertimbangan kepada pengguna jasa dan pihak kontraktor tentang pelaksanaan pekarjaan.
c.      Memberikan jawaban dan penjelasan kepada kontraktor tentang hal-hal yang kurang jelas dalam gambar rencana, rencana kerja, dan syarat-syarat.
d.     Membuat gambar revisi bila tejadi perubahan perencanaan.
Menghadiri rapat koordinasi pengelolaan proyek.

KONSULTAN PENGAWAS
Konsultan pengawas adalah orang/badan yang ditunjuk pengguna jasa untuk membantu dalam pengelolaan pelaksanaan pekerjaan pembangunan mulai dari awal hingga berakhirnya pekerjaan pembangunan. Hak dan kewajiban konsultan pengawas adalah:
1.        Menyelesaikan pelaksanaan pekarjaan dalam waktu yang telah ditetapkan.
2.        Membimbing dan mengadakan pengawasan secara periodik dalam pelaksanaan pekerjaan.
3.        Melakukan perhitungan prestasi pekerjaan.
4.        Mengkoordinasi dan mengendalikan kegiatan konstruksi serta aliran informasi antar berbagai bidang agar pelaksanaan pekerjaan berjalan lancar.
5.        Menghindari kesalahan yang mungkin terjadi sedini mungkin serta menghindari pembengkakan biaya.
6.        Mengatasi dan memecahkan persoalan yang timbul di lapangan agar dicapai hasil akhir sesuai dengan yang diharapkan dengan kualitas, kuantitas serta waktu pelaksanaan yang telah ditetapkan.
7.        Menerima atau menolak material/peralatan yang didatangkan kontraktor.
8.        Menghentikan sementara bila terjadi penyimpangan dari peraturan yang berlaku.
9.        Menyusun laporan kemajuan pekerjaan (harian, mingguan, bulanan).




KONTRAKTOR
Kontraktor adalah orang/badan yang menerima pekerjaan dan menyelenggarakan pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan biaya yang telah ditetapkan berdasarkan gambar rencana dan peraturan dan syarat-syarat yang ditetapkan. Kontraktor dapat berupa perusahaan perseorangan yang berbadan hukum atau sebuah badan hukum yang bergerak dalam bidang pelaksanaan pekerjaan.
Hak dan kewajiban kontraktor adalah:
1.        Melaksanakan pekerjaan sesuai dengan gambar rencana, peraturan, dan syarat-syarat, risalah penjelasan pekerjaan (aanvullings) dan syarat-syarat tambahan yang telah ditetapkan oleh pengguna jasa.
2.        Membuat gambar-gambar pelaksanaan yang disahkan oleh konsultan pengawas sebagai wakil dari pengguna jasa.
3.        Menyediakan alat keselamatan kerja seperti yang diwajibkan dalam peraturan untuk menjaga keselamatan pekerja dan masyarakat.
4.        Membuat laporan hasil pekerjaan berupa laporan harian, mingguan dan bulanan.
5.        Menyerahkan seluruh atau sebagian pekerjaan yang telah diselesaikannya sesuai dengan ketetapan yang berlaku.

HUBUNGAN KERJA
Hubungan tiga pihak yang terjadi antara pemilik proyek, konsultan, dan kontraktor diatur sebagai berikut:
1.        Konsultan dengan pemilik proyek, ikatan berdasarkan kontrak. Konsultan memberikan layanan konsultasi di mana produk yang dihasilkan berupa gambar-gambar rencana, peraturan, dan syarat-syarat; sedangkan pemilik proyek memberikan biaya jasa atas konsultasi yang diberikan oleh konsultan.
2.        Kontraktor dengan pemilik proyek, ikatan berdasarkan kontrak. Kontraktor memberikan layanan jasa profesionalnya berupa bangunan sebagai realisasi dari keinginan pemilik proyek yang dituangkan dalam gambar rencana, peraturan, dan syarat-syarat oleh konsultan, sedangkan pemilik proyek memberikan biaya jasa profesional kontraktor.
3.        Konsultan dengan kontraktor, ikatan berdasarkan peraturan pelaksanaan. Konsultan memberikan gambar rencana, peraturan, dan syarat-syarat, kontraktor harus merealisasikan menjadi sebuah bangunan.


Sumber: http://gudangilmusipil.blogspot.co.id/2011/05/tugas-manajemen-konstruksi-iunsur-unsur.html

APBN

APBN


1.        Fungsi dan Peran APBN
a.      APBN sebagai alat mobilisasi dana investasi, APBN di negara-negara sedang berkembang adalah sebagai alat untuk memobilisasi dana investasi dan bukannya sebagai alat untuk mencapai sasaran stabilisasi jangka pendek. Oleh karena itu besarnya tabungan pemerintah pada suatu tahun sering dianggap sebagai ukuran berhasilnya kebijakan fiskal Baik pengeluaran maupun penerimaan pemerintah mempunyai pengaruh atas pendapatan nasional. Pengeluaran pemerintah dapat memperbesar pendapatan nasional (expansionary), tetapi penerimaan pemerintah dapat mengurangi pendapatan nasional (contractionary).
b.      APBN sebagai alat Stabilisasi Ekonomi,
1.        Pemerintah menentukan beberapa kebijaksanaan di bidang anggaran belanja dengan tujuan mempertahankan stabilitas proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Anggaran belanja dipertahankan agar seimbang dalam arti bahwa pengeluaran total tidak melebihi penerimaan total
2.        Tabungan pemerintah diusahakan meningkat dari waktu ke waktu dengan tujuan agar mampu menghilangkan ketergantungan terhadap bantuan luar negeri sebagai sumber pembiayaan pembangunan.
3.        Basis perpajakan diusahakan diperluas secara berangsur-angsur dengan cara mengintensifkan penaksiran pajak dan prosedur pengumpulannya.
4.        Prioritas harus diberikan kepada pengeluaran-pengeluaran produktif pembangunan, sedang pengeluaran-pengeluaran rutin dibatasi. Subsidi kepada perusahaan-perusahaan negara dibatassi.
5.        Kebijaksanaan anggaran diarahkan pada sasaran untuk mendorong pemanfaatan secara maksimal sumber-sumber dalam negeri.
c.      Dampak APBN terhadap Perekonomian
Cara untuk menggolongkan pos-pos penerimaan dan pengeluaran yang masing-masing menghasilkan tolok ukur yang berbeda mengenai dampak APBNnya.

Ada empat tolok ukur dampak APBN, yaitu :
1.        Saldo Anggaran Keseluruhan
Konsep ini ingin mengukur besarnya pinjaman bersih pemerintah dan didefinisikan sebagai :
G – T = B = Bn + Bb + Bf
Catatan :
G = Seluruh pembelian barang dan jasa (didalam maupun luar negeri), pembayaran transer dan pemberian pinjaman bersih.
T = Seluruh penerimaan, termasuk penerimaan pajak dan bukan pajak
B = Pinjaman total pemerintah
Bn = Pinjaman pemerintah dari masyarakat di luar sektor perbankan
Bb= Pinjaman pemerintah dari sektor perbankan
Bf =Pinjaman pemerintah dari luar negeri

- Jika Pemerintah tidak mengeluarkan obligasi kepada masyarakat, maka saldo anggaran keseluruhan menjadi :
G – T – B = Bb + Bf
- APBN dicatat demikian rupa sehingga menjadi anggaran berimbang :
G – T – B = 0
Sejak APBN 2000 saldo anggaran keseluruhan defisit dibiayai melalui:
a. Pembiayaan Dalam Negeri :
- Perbankan Dalam Negeri
- Non Perbankan Dalam Negeri
b. Pembiayaan Luar Negeri Bersih
- Penarikan pinjaman luar negeri (bruto)
-Pembayaran cicilan pokok utang luar negeri
2.    Konsep Nilai Bersih
Yang dimaksud defisit menurut konsep nilai bersih adalah saldo dalam rekening lancar APBN. Konsep ini digunakan untuk mengukur besarnya tabungan yang diciptakan oleh sektor pemerintah, sehingga diketahui besarnya sumbangan sektor pemerintah terhadap pembentukan modal masyarakat.

3.    Defisit Domestik
·            Saldo anggaran keseluruhan tidak merupakan tolok ukur yang tepat bagi dampak APBN terhadap pereknomian dalam negeri maupun terhadap neraca pembayaran.
·            Bila G dan T dipecah menjadi dua bagian (dalam negeri dan luar negeri)
G = Gd + Gf
T = Td + Tf, maka persamaan (2) di atas menjadi
(Gd – Td) + (Gf – Tf) = + Bf
(Gd – Td) = dampak langsung putaran pertama terhadap PDB
(Gf – Tf) = dampak langsaung putaran pertama terhadap neraca pembayaran

4.    Defisit Moneter
·            Konsep ini banyak digunakan dikalangan perbankan Indonesia terutama angka-angka yang mengukur defisit anggaran belanja ini diterbitkan oleh Bank Indonesia (sebagai data mengenai “faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uang beredar”). Defisit dikur sebagai posisi bersih (netto) pemerintah terhadap sektor perbankan : G – T – Gf – Gb Karena Bn = 0
·            Di dalam konsep ini bantuan luar negeri dianggap sebagai penerimaan, diperlakukan sebagai pos yang tidak mempengaruhi posisi bersih. Bantuan luar negeri tidak dilihat fungsinya sebagai sumber dana bagi kekurangan pembiayaan pemerintah, tetapi sebagai pos pengeluaran yang langsung dikaitkan dengan sumber pembiayaannya

2.        STRUKTUR DAN SUSUNAN APBN
·            Pendapatan Negara dan Hibah
1.        Penerimaan Pajak
2.        Penerimaan Bukan Pajak (PNBK)
·            Belanja Negara
1.        Belanja pemerintah pusat
2.        Anggaran Belanja untuk Daerah
·            Keseimbangan Primer Perbedaan Statistik
·            Surplus/ Defisit Anggaran
·            Pembiayaan

3.        PRINSIP-PRINSIP DALAM APBN
·            Prinsip Anggaran APBN
·            Prinsip Anggaran dinamis
·            Prinsip Anggaran Fungsional


Sumber : http://cafe-ekonomi.blogspot.co.id/2009/05/makalah-apbn-indonesia.html

Tinjauan Undang-undang Konstruksi

KAJIAN KESERASIAN UNDANG-UNDANG JASA KONSTRUKSI NO.18 TAHUN 1999 DAN KEPUTUSAN PRESIDEN NO 80 TAHUN 2003 DALAM PENGADAAN JASA PEMBORONGAN KONSTRUKSI OLEH PEMERINTAH

Penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan jasa pemborongan konstruksi sebagai akibat dari pemahaman/persepsi yang keliru terhadap ketentuan yang berlaku dapat berpotensi terjadi dampak dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Oleh karena itu, perlu untuk diketahui ketentuan-ketentuan dalam pengadaan jasa pemborongan konstruksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk jasa konstruksi.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai keserasian antara Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) No. 18/1999 dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 80/2003 dalam Pengadan Jasa Pemborongan Konstruksi dan potensi dampak yang terjadi sebagai akibat dari ketidakserasian peraturan tersebut. Kajian keserasian dilakukan dengan cara membandingkan ketentuan-ketentuan pengadaan jasa pemborongan konstruksi yang diatur dalam UUJK No. 18/1999 dengan Peraturan Pemerintah baik itu PP No. 28/2000 maupun PP No. 29/2000 sebagai penjabaran dari UUJK dan kenyataannya. Dan antara UUJK No. 18/1999, PP No. 28/2000 dan PP No. 29/2000 dengan Keppres No. 80/2003.
Hasil kajian keserasian, menyatakan ketentuan-ketentuan yang serasi antara lain ketentuan mengenai metoda pemilihan penyedia jasa dan kontrak kerja konstruksi dan ketentuan-ketentuan yang tidak serasi yaitu ketentuan mengenai persyaratan penyedia jasa khususnya untuk usaha orang perseorangan, persyaratan tenaga kerja konstruksi untuk bersertifikat, kriteria keadaan tertentu, dokumen pemilihan penyedia jasa dan dokumen penawaran.
Berdasarkan hasil kajian keserasian, dilakukan kajian potensi dampak yang dapat terjadi sebagai akibat dari ketidakserasian peraturan dengan mengidentifikasi kejadian dan dampak yang berpotensi terjadi dengan menelaah dokumen-dokumen terkait dengan ketentuan-ketentuan yang tidak serasi tersebut. Hasil kajian tersebut menunjukan ketentuan yang paling berpotensi terjadi dampak terhadap pekerjaan konstruksi adalah persyaratan tenaga kerja konstruksi. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pelaku konstruksi baik pengguna jasa maupun penyedia jasa dengan mengetahui ketentuan-ketentuan yang harus berlaku pada jasa konstruksi dan dampak yang berpotensi terjadi sebagai akibat dari penyimpangan terhadap ketentuan tersebut.

Sumber: https://llkpbjaceh.wordpress.com/2010/10/16/kajian-keserasian-undang-undang-jasa-konstruksi-no-18-tahun-1999-dan-keputusan-presiden-no-80-tahun-2003-dalam-pengadaan-jasa-pemborongan-konstruksi-oleh-pemerintah/

Arbitrase

PENYELESAIAN SENGKETA KONSTRUKSI

I.       PENDAHULUAN
Pesatnya pembangunan di segala bidang di Indonesia termasuk didalamnya pembangunan di bidang infrastruktur dalam beberapa dekade terakhir telah mendorong peningkatan arus investasi baik yang berasal dari pihak swasta dalam negeri maupun dari luar negeri. Investasi dalam bidang infrastruktur telah melibatkan banyak pihak dengan beragam skema kerjasama, seperti: antara pemerintah RI dengan Pemerintah negara lain atau dengan Swasta Nasional atau Swasta Asing; antara sesama swasta nasional atau dengan pihak asing.
Kerjasama investasi antara para pihak dalam bidang infrastruktur tersebut diikat melalui beragam bentuk kesepakatan/perjanjian/kontrak kerjasama. Tentu saja setiap kesepakatan/perjanjian/kontrak kerjasama dimaksud diharapkan dapat berjalan dengan lancar dan tanpa adanya hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Para pihak yang terikat perjanjian berupaya melaksanakan sebaik mungkin klausul-klausul yang disepakati dalam kesepakatan/perjanjian/kontrak kerjasama dimaksud.
Namun dalam pelaksanaan kesepakatan/perjanjian/kontrak kerjasama seringkali ditemukan banyak kendala/hambatan yang pada akhirnya dapat menimbulkan perselisihan atau ketidaksepahaman antara para pihak yang telah melakukan kesepakatan tersebut yang ujung-ujungnya menjadi sebuah sengketa (dispute).
Pada tujuan itulah tulisan ini dibuat sebagai sedikit sumbangan pemikiran dan berbagi pengetahuan terkait penyelesaian sengketa konstruksi dalam bidang investasi infrastruktur (khususnya di Indonesia) dengan batasan pengertian Infrastruktur (Grigg, 1988) dimaksud dalam tulisan ini adalah suatu sistem fisik yang menyediakan transportasi, drainase, bangunan gedung dan fasilitas publik lainnya, dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia baik kebutuhan sosial maupun ekonomi. Adapun enam kategori besar infrastruktur (Grigg, 1988), meliputi:
  1. Kelompok jalan (jalan, jalan raya, jembatan);
  2. Kelompok pelayanan transportasi (transit, jalan rel, pelabuhan, bandar udara);
  3. Kelompok air (air bersih, air kotor, semua sistem air, termasuk jalan air);
  4. Kelompok manajemen limbah (sistem manajemen limbah padat);
  5. Kelompok bangunan dan fasilitas olahraga luar;
  6. Kelompok produksi dan distribusi energi (listrik dan gas);

II.      LANDASAN HUKUM
Adapun beberapa landasan hukum yang dapat menjadi dasar atau rujukan dalam penyelesaian sengketa konstruksi di bidang investasi infrastruktur di Indonesia, meliputi :
1.        Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi beserta Penjelasannya;
2.        Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
3.        Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3956) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010;
4.        Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Ke-4 Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 tahun 200 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
5.        Peraturan Menteri PU Nomor 07/PRT/M/2014 Tentang Perubahan Kedua Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 07/PRT/M/2011 Tentang Standar Dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Dan Jasa Konsultansi;
6.        Peraturan Lembaga LPJK Nomor 04 tahun 2014 tentang Penilai Ahli;
7.        Lain-lain (seperti  FIDIC dll)




III.    PEMILIHAN CARA PENYELESAIAN SENGKETA KONSTRUKSI

3.1  Menurut Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi beserta Penjelasannya

Bab IV : Pengikatan Pekerjaan Konstruksi
Bagian Ketiga: Kontrak Kerja Konstruksi

Pasal 22 ayat (2) h:

Kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai penyelesaian perselisihan, yang memuat tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan.

-        Penjelasan Pasal 22 (2) h:

Penyelesaian perselisihan memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan yang diakibatkan oleh ketidaksepakatan dalam hal pengertian, penafsiran, atau pelaksanaan berbagai ketentuan dalam kontrak kerja konstruksi serta ketentuan tentang tempat dan cara penyelesaian.

Penyelesaian perselisihan ditempuh melalui antara lain musyawarah, mediasi, arbitrase, ataupun pengadilan.

Pasal 33 ayat (2):

Tugas lembaga yang menyelenggarakan peran masyarakat jasa konstruksi dalam melaksanakan pengembangan jasa konstruksi adalah:

(e) mendorong dan meningkatkan peran arbitrase, mediasi dan penilai ahli dibidang jasa konstruksi.
Pasal 25 ayat (3):

Kegagalan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh pihak ketiga selaku penilai ahli.

-        Penjelasan Pasal 25 (3):
Penetapan kegagalan hasil pekerjaan konstruksi oleh pihak ketiga sebagai penilai ahli dimaksudkan untuk menjaga objektivitas dalam penilaian dan penetapan suatu kegagalan hasil pekerjaan konstruksi.

Penilai ahli terdiri dari orang perseorangan, atau kelompok orang, atau lembaga yang disepakati para pihak, yang bersifat independen dan mampu memberikan penilaian secara objektif dan profesional.

Pasal 36 :

(1)    Penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luarpengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.

(2)    Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlakuterhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana diatur dalamKitab Undang-Undang Hukum Pidana.
(3)   Jika dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau parapihak yang bersengketa.



Pasal 37 :

(1)     Penyelesaian sengketa jasa konstruksi di luar pengadilan dapat ditempuh untuk masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, serta dalam hal terjadi kegagalan bangunan.
(2)     Penyelesaian sengketa jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan jasa pihak ketiga, yang disepakati oleh para pihak.
(3)     Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibentuk oleh Pemerintah dan/atau masyarakat jasa konstruksi.

3.2.     Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Pasal 1 ayat (1)
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Pasal 1 ayat (10)
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.


Pasal 34 ayat (1) :
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atauinternasional berdasarkan kesepakatan para pihak.


3.3.  Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3956) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010

BAB VI : PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 49

(1)  Penyelesaian sengketa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara :
a. melalui pihak ketiga yaitu :
1.         mediasi (yang ditunjuk oleh para pihak atau oleh Lembaga Arbitrase dan Lembaga AlternatifPenyelesaian Sengketa);
2.         konsiliasi; atau
b. arbitrase melalui Lembaga Arbitrase atau Arbitrase AdHoc.
(2)     Penyelesaian sengketa secara mediasi atau konsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf dapat dibantu penilai ahli untuk memberikan pertimbangan profesional aspek tertentu sesuaikebutuhan.

3.4. Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Ke-4 Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

Paragraf Ketujuh : Penyelesaian Perselisihan
Pasal 94
(2)  Dalam hal terjadi perselisihan antara para pihak dalam Penyediaan Barang/Jasa Pemerintah, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan perselisihan tersebut melalui musyawarah untuk mufakat.
(3)  Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian perselisihan tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase, alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3.5.     Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 07/PRT/M/2011 Tentang Standar Dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Dan Jasa Konsultansi, terakhir diubah dengan Peraturan Menteri PU Nomor 07/PRT/M/2014 (Perubahan Kedua).

1.    Penyelesaian Perselisihan

3.6.     Menurut Peraturan Lembaga LPJK Nomor 04 tahun 2014 tentang Penilai Ahli

Pasal 1 (5)
Penilai Ahli adalah seseorang yang mempunyai kompetensi penilaian ahli di bidang jasa konstruksi.

Pasal 4 :
(1)  Penilai Ahli berperan dalam kegiatan penilaian ahli atas kejadian Kegagalan Bangunan,Kegagalan Pekerjaan Konstruksi, beda pendapat antar para pihak dalam pelaksanaan  Kontrak Kerja Konstruksi, penyelesaian sengketa konstruksi dan proses peradilan.
(2)  Penilaian ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh 1 (satu) atau lebih Penilai Ahli.

Pasal 5 : Tugas Penilai Ahli
(1)  Tugas Penilai Ahli dalam hal kejadian Kegagalan Bangunan adalah
a.         memberikan penilaian dan penetapan:
b.         sebab-sebab terjadinya Kegagalan Bangunan;
c.         bagian-bagian yang tidak lagi berfungsi akibat Kegagalan Bangunan;
d.         pihak yang bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan yang terjadi, serta tingkat dan sifat kesalahan yang dilakukan;
e.         besarnya kerugian, serta usulan besarnya ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak atau pihak-pihak yang melakukan kesalahan; dan
f.          jangka waktu pembayaran kerugian.
(2)  Tugas Penilai Ahli dalam hal kejadian Kegagalan Pekerjaan Konstruksi adalah memberikan penilaian dan rekomendasi:
a.      sebab-sebab terjadinya Kegagalan Pekerjaan Konstruksi;
b.      bagian-bagian yang tidak lagi berfungsi akibat Kegagalan Pekerjaan Konstruksi;
c.      pihak yang bertanggung jawab atas Kegagalan Pekerjaan Konstruksi yang terjadi, serta tingkat dan sifat kesalahan yang dilakukan; dan
d.      besarnya kerugian, serta usulan cara perbaikan kegagalan pekerjaan konstruksi
(3)  Tugas Penilai Ahli dalam hal kejadian beda pendapat antar para pihak, adalah:
a.      memberikan interpretasi kontraktual secara berkeahlian atas dokumen Kontrak Kerja Konstruksi;
b.      memberikan pendapat dan/atau telaahan atas permasalahan beda pendapat untuk tercapainya kesepakatan;
c.      memberikan usulan penyelesaian untuk tercapainya kesepakatan; dan/atau
d.      merumuskan hasil kesepakatan para pihak.
(4)  Tugas Penilai Ahli dalam hal kejadian penyelesaian sengketa konstruksi adalah sebagai Mediator atau Konsiliator.
(5)  Tugas Penilai Ahli sebagai Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
a.      memfasilitasi para pihak dalam rangka penyelesaian sengketa;
b.      menengahi setiap perbedaan pendapat dalam berargumentasi;
c.      memberikan interpretasi kontraktual secara berkeahlian atas dokumen Kontrak Kerja Konstruksi; dan
d.      memberikan pendapat dan/atau telaahan atas permasalahan penyelesaian sengketa untuk tercapainya kesepakatan;
(6)  Tugas Penilai Ahli sebagai Konsiliator sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
a.      memfasilitasi para pihak dalam rangka penyelesaian sengketa;
b.      menengahi setiap perbedaan pendapat dalam berargumentasi;
c.      memberikan interpretasi kontraktual secara berkeahlian atas dokumen Kontrak Kerja Konstruksi;
d.      memberikan pendapat dan/atau telaahan atas permasalahan penyelesaian sengketa untuk tercapainya kesepakatan;
e.      memberikan usulan penyelesaian untuk tercapainya kesepakatan; dan
f.       merumuskan hasil kesepakatan para pihak.

(7)  Tugas Penilai Ahli dalam proses arbitrase dan proses peradilan adalah memberikan keterangan ahli selaku saksi ahli.

3.7.     Menurut Peraturan lainnya (seperti FIDIC dll)

FIDIC
(FIDIC, Federation International des Ingenieurs-Conseils atau International Federation of Consulting Engineers. yang berkedudukan di Lausanne, Swiss, dan didirikan dalam tahun 1913 oleh negara-negara Perancis, Belgia dan Swiss. Dalam perkembangannya, FIDIC merupakan perkumpulan dari assosiasi-assosiasi nasional para konsultan (Consulting engineers) seluruh dunia. Didukung oleh ilmu pengetahuan dan pengalaman professional yang sedemikian luas dari anggota-anggotanya, FIDIC telah menerbitkan berbagai bentuk standar dari dokumen dan persyaratan kontrak, conditions of contract, untuk proyek-proyek pekerjaan sipil (civil engineering construction) sejak 1957 yang secara terus menerus direvisi dan diperbaiki sesuai perkembangan industri konstruksi
Berdasarkan Persyaratan Kontrak untuk Pelaksanaan Konstruksi, Multilateral Development Bank (MDB) Harmonised Edition Maret-2006, pada Klausul No.20 : KLAIM, SENGKETA DAN ARBITRASE diatur bahwa bilamana terjadi sengketa konstruksi maka penyelesaiannya melibatkan Sebuah Dewan Sengketa yang anggotanya (berjumlah ganjil) ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa.
Dewan Sengketa dalam menyelesaikan sebuah sengketa akan mengupayakan cara-cara damai atau musyawarah. Namun bila cara damai/musyawarah tidak tercapai, maka dapat ditempuh penyelesaian melalui forum Arbitrase. Dapat dipilih arbitrase nasional atau arbitrase internasional.

IV.    KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa konstruksi di bidang investasi infrastruktur yang terjadi antara para pihak yang melakukan kesepakatan/perjanjian/kontrak kerjasama dapat diselesaikan melalui dua pilihan jalur penyelesaian yaitu melalui jalur pengadilan atau jalur non pengadilan. Untuk penyelesaian melalui jalur pengadilan diselenggarakan dengan mengikuti tata cara peradilan pada umumnya, sedangkan penyelesaian melalui jalur non pengadilan mencakup penyelesaian melalui cara musyawarah, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitraseatau melibatkan penilaian ahli. Dalam halmenggunakan cara melalui arbitrase dapat dipilih lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak.

Sumber: http://brisbenrasyid.blogspot.co.id/